Minggu, 31 Januari 2010

Pemenang Piala Bergilir Pluralisme

Friends,

Berikut tanya-jawab seorang rekan dan saya yg langsung dilanjutkan dengan tulisan seorang rekan lainnya yg kemarin saya hadiahi dengan piala bergilir pluralisme. Baca aja.


+

PEMENANG PIALA BERGILIR PLURALISME


T = Salam alaika,

Mas Leo, menurut mas orang Islam dan agama Islam sama tidak?

J = Jelas tidak sama. Orang yg menyebut dirinya Islam itu tidak ada bedanya dengan orang yg tidak menyebut dirinya Islam. Semua orang yg ada di dunia ini tetap saja sama, sama-sama orang. Apapun latar belakangnya, manusianya tetap saja sama. Lahir, besar, kawin dan mati. Tidak ada bedanya sama sekali walaupun pakai label Islam maupun tidak.

Agama Islam itu bukan manusia, melainkan konsep saja. Sama seperti agama Kristen, Hindu, Buddha. Sama seperti Atheisme dan Agnostisme. Semuanya konsep belaka. Ada persamaanya, dan ada pula perbedaannya. Persamaan dan perbedaan di antara konsep-konsep belaka. Yg jelas, semuanya konsep abstrak, adanya di dalam pikiran manusia belaka. Fyi, konsep itu benda mati. Benda mati yg tidak terlihat, makanya disebut abstrak. Abstrak artinya tidak terlihat, bukan fisik. Adanya cuma di dalam imajinasi manusia saja.

T = Ada yg mengatakan Islam bukan nama agama, nama agama Islam yg ada dalam Al Quran adalah terjemahan yg keliru. Dalam Hadispun tidak ada pernyataan bahwa beliau beragama Islam. Dalam Al Quran ada pernyataan Muhammad bahwa beliau kapir. Mohon penjelasan dari mas.

J = I don't know and I don't care. Menurut saya semua manusia itu sama saja, baik namanya Yesus, Siddharta Gautama, Muhammad, Konghucu, Lao Tzu, Syekh Siti Jenar, Gus Dur,... bahkan Abu Bakar Baasyir sekalipun dan orang-orang fanatik sejenisnya. Semuanya manusia biasa-biasa saja, tidak ada bedanya dengan anda dan saya. Konsep-konsep yg mereka gunakan hanyalah konsep thok. Mereka bisa pakai konsep apa saja, dan itu sah, berlaku bagi diri mereka saja. Konsep itu benda mati. Benda mati yg abstrak, adanya di dalam pikiran mereka saja.

Kafir itu juga konsep. Konsep abstrak, benda mati yg tak terlihat. Apakah kalau anda kafir lalu anda menjadi lebih rendah daripada manusia lainnya? Apakah lalu HAM yg ada di diri anda akan berkurang? Tentu saja tidak. Baik anda kafir ataupun beragama, HAM yg ada di anda tetap saja sama. Dan sebagai manusia anda tetap saja butuh oksigen, makan, minum dan tidur. Pengertian bahwa kafir berarti lebih rendah berasal dari manusia yg ingin meninggikan dirinya sendiri, biasanya dari kalangan Islam fanatik, dan itu sah saja, berlaku bagi mereka, asalkan tidak diterjemahkan secara fisik melalui perbuatan. Kalau mereka lalu membakar atau menghancurkan harta benda orang lain yg mereka sebut kafir, maka artinya sudah terjadi tindakan kriminal, pidana.

Pada pihak lain, orang-orang yg disebut kafir oleh orang mukmin juga berhak untuk bilang bahwa mereka yg melecehkannya itu cuma bermasturbasi saja, menggunakan konsep yg asalnya dari Timur Tengah yg memang jelas menginjak-injak HAM. Di masyarakat Islami, penginjak-injakan HAM merupakan hal yg biasa, terutama terhadap mereka yg dianggap kafir. Dan itulah yg harus kita perjuangkan agar dihentikan karena sudah tidak jamannya. Jaman sekarang masih mau menginjak-injak HAM orang? Masih mau menganggap wanita berada di bawah pria?

Tetapi tentu saja apa yg orang lakukan di dalam ruang lingkup pribadi merupakan urusan mereka masing-masing. Agama dan segala sahibul hikayatnya merupakan urusan pribadi. Kita bisa bilang agamanya jelek, dan orang yg kita katain agamanya jelek bisa juga berteriak kafir. Itu sah saja. Namanya pluralisme.

Pluralisme artinya kesejajaran status pandangan. Baik beragama maupun kafir semuanya sejajar. Manusianya tetap saja memiliki hak dan kewajiban yg sama di depan hukum. Memiliki HAM yg sama. Tidak ada yg di anak emaskan, dan tidak ada yg di anak tirikan. Tetapi Indonesia masih banyak menganut salah kaprah, tentu saja. Di sini orang masih menganggap atheist itu sebagai kafir, dan karenanya harus di diskriminasi karena Allah benci orang kafir.

Pedahal siapa itu Allah? Allah cuma konsep, bukan? Cuma konsep buatan orang yg mau jualan agama, bukan? Buktinya milyaran orang di dunia ini tidak kenal dan tidak perduli dengan yg namanya Allah. Dan ternyata mereka bisa hidup biasa-biasa saja, tidak kekurangan sesuatupun. Sebaliknya, masyarakat yg gila Allah justru tetap saja terbelakang bahkan sampai sekarang. Tetap saja melecehkan HAM wanita dan minoritas.

Fyi, Gus Dur mendukung judicial review yg diajukan oleh banyak LSM pembela HAM agar UU yg melindungi agama-agama seolah-olah satwa langka dinyatakan tidak konstitusional dan menginjak-injak HAM. UU itu juga tidak sesuai dengan Konvensi HAM PBB yg telah diratifikasi oleh Indonesia. Agama tidak perlu dilindungi karena memang bukan satwa langka. Pluralisme juga berarti bahwa agnostisme dan atheisme memiliki hak dan kedudukan yg sama dengan agama. Agama-agama itu sampai sekarang masih suka mencaci-maki agnostisme dan atheisme. Dan itu dianggal halal. Memang halal saja, namanya HAM Kebebasan Berbicara. Dan hal yg sama bisa juga dilakukan oleh orang agnostik dan atheist. Agnostics dan atheists bisa saja memaki agama. Namanya HAM Kebebasan Berbicara juga. Pure and simple.

Dan itulah makna pluralisme yg sebenarnya. Plural artinya segalanya sederajat. Valid dan sah bagi orangnya sendiri. Pluralisme berarti kebebasan untuk beragama atau untuk tidak beragama. Pluralisme berarti kebebasan untuk berpendapat apa saja tanpa perlu di-intimidasi oleh pemerintah maupun kelompok-kelompok lainnya. Tanpa perlu dikhotbahi oleh orang yg merasa perlu 'menjaga perasaan'.

Fyi, agama-agama itu sendiri tidak menjaga perasaan kalau dibiarkan tanpa ditegur. Corong mesjid itu dimana-mana mengganggu ketenteraman umum di seluruh Indonesia, terutama di pemukiman padat di perkotaan. Tetapi karena para pemimpin agama boleh bilang semuanya sudah terjangkit kemunafikan, makanya berpura-pura seolah-olah tidak ada apa-apa. Pedahal ada. Banyak orang yg kupingnya jadi budeg gara-gara bertahun-tahun kena corong mesjid. Hal-hal seperti corong mesjid itu perlu ditertibkan karena mengganggu secara fisik.

Kalau pendapat pribadi dari setiap orang yg dikeluarkan melalui ucapan dan tulisan, maka itu tidak apa-apa. Valid dan sah, dan sesuai HAM. Yg melecehkan HAM sekaligus pidana atau kriminal adalah yg melakukan pengrusakan harta benda milik orang lain. Pengrusakan harta benda orang lain itulah yg tidak boleh dilakukan. Itu kriminal, pidana, kejahatan. Tetapi berpendapat bahwa ada agama yg penganutnya masih primitif bukanlah perbuatan pidana. Itu pendapat pribadi, termasuk HAM Kebebasan Berbicara.

Kemarin saya menulis di status saya di facebook bahwa hanya orang munafiklah yg bisa menjadi pemimpin agama karena buktinya Yesus, Siddharta Gautama, Konghucu dan Lao Tzu bukanlah pemimpin agama, haha... Dan tulisan itu ditanggapi oleh seorang teman yg akhirnya saya hadiahi piala bergilir pluralisme. Begini tulisannya secara lengkap:

-

"Dalam sebuah forum komunikasi antar umat beragama (FKUB), tempat pemeluk berbagai agama berkumpul melingkar, sering saya bertanya kepada forum: 'Apakah anda punya tetangga?'. Biasanya dijawab: 'Tentu punya', 'Punya istri enggak tetangga Anda?', 'Ya, punya dong', 'Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu ?', 'Secara khusus, tak pernah melihat ', 'Jari-jari kakinya lima atau tujuh ?', 'Tidak pernah memperhatikan', 'Body-nya sexy enggak?', Hadirin biasanya tertawa.

Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka: "Sexy atau tidak bukan urusan kita, kan ? Tidak usah kita perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja !". Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Tidak usah diomong-omongkan, tidak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati. Bagi penganut non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi penganut non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu paling benar, lantas untuk apa dia jadi penganut non-Islam ?.

Demikian juga, bagi para penganut Islam, agama lain itu salah. Justru berdasar itulah maka ia menjadi penganut Islam. Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran. Biarlah setiap orang memilih istri / pacarnya sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istri / pacarnya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri / pacar kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter,umpamanya... hahahaha....!!

Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. Sementara itu ada penganut Muslim yang mau melahirkan anak yang masih berada di dalam kandungannya padahal motornya gembos, silahkan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau, ada Pastor / Romo (imam gereja Katolik) yang sebelah sana karena baju Misa-nya kehujanan, padahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhamadiyah.

Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dgn tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya. Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama di bidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing. Bisa memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gunung membersihi kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama. Tidak ada masalah lurahnya Muslim, kepala dusunnya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun.

Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapi pun kita bekerja sama nyangkul dan nggaruk sawah. Itulah lingkaran tulus hati dengan hati. Itulah PLURALISME !

JIKA anda seorang democrat (bukan kumpulan binatang melainkan orang), liberal dan pluralis yang menenggang perbedaan, kenapa anda mengkritik pandangan orang-orang yang berbeda dengan anda? Kenapa anda tidak membiarkan saja pandangan itu? Jika anda mengkritik yang bersangkutan, maka anda pada akhirnya bukan sorang pluralis tulen yang toleran.

Ini komentar yang kerap saya peroleh saat saya melakukan kritik keras terhadap ideologi, doktrin dan pandangan kaum Islam fundamentalis dan radikal. Jika saya benar-benar seorang Muslim liberal yang menganjurkan penghargaan atas keragaman pendapat dalam tubuh umat Islam, kenapa saya justru mengkritik pendapat kelompok-kelompok yang berbeda dengan saya? Bukankah sikap semacam itu mengandung kontradiksi? Bukankah itu sebentuk hipokrisi dan standar-ganda ???

Di permukaan, pandangan semacam ini seolah-olah benar, tetapi jika kita telaah dengan cermat, sebetulnya hanyalah akibat dari salah paham tentang makna dari pluralisme, demokrasi, liberalisme, dan konsep-konsep lain yang sepadan.

Pluralisme adalah sebuah ide yang tak bisa dipisahkan dari gagasan dasar demokrasi. Semangat pokok dalam demokrasi adalah bahwa setiap individu dan kelompok diberikan hak penuh untuk berpendapat sesuai dengan keyakinannya. Oleh karena itu, dalam setiap negara demokrasi, selalu kita jumpai jaminan atas kebebasan berpendapat.

Tak seorang pun boleh diberangus pendapatnya hanya karena pendapatnya itu berlawanan dengan seorang penguasa, entah penguasa politik atau penguasa agama. Keragaman pendapat juga harus dihormati. Tidak mungkin memaksakan pendapat yang sama kepada semua individu dan golongan. Hanya pemerintah totaliter dan otoriter saja yang memaksakan ‘monotoni’ atau kesamaan suara dan pendapat. Inilah keadaan yang pernah kita alami dulu pada zaman Orde Baru.

Tetapi, menghargai pendapat pihak lain bukan berarti menghentikan sama sekali kritik dan invesitigasi atas pendapat itu. Dalam demokrasi, selain jaminan atas kebebasan menyampaikan pendapat, juga terdapat jaminan pula untuk mengkritik pendapat tersebut. Ini yang kita lihat dalam praktek demokrasi di mana-mana: semua pihak memperoleh jaminan untuk menyampaikan pandangan, sekaligus juga mengkritik pandangan pihak lain yang berbeda. Dari sanalah lahir debat publik untuk menguji ide-ide tertentu.

Jika menghargai pendapat orang lain berarti larangan atas kritik, maka sistem demokrasi kehilangan alasan mendasar untuk ada. Demokrasi menjadi relevan justru karena memungkinkan terjadinya debat publik. Suatu masalah diselesaikan melalui apa yang disebut dengan “deliberasi publik”, bukan dengan kekerasan fisik.

Meskipun seseorang boleh mengkritik pendapat orang lain yang berbeda, tetapi ia tak bisa meniadakan hak orang lain itu. Sebagai seorang demokrat yang pluralis, saya membela hak semua orang dan golongan untuk berpendapat, tetapi saya juga memiliki hak untuk mengemukakan pandangan saya sendiri, termasuk pandangan yang mengkritik posisi pihak lain yang berbeda itu. Kritik saya atas pihak lain bukan berarti mengingkari haknya untuk ada dan untuk berpendapat.

Umat Islam, saya kira, sudah selayaknya membiasakan diri dalam kultur demokrasi semacam ini, yakni kultur di mana perbedaan dimungkinkan, perdebatan dibuka, setiap pihak diberikan kemungkinan untuk berpendapat, mengkritik dan mengkritik balik. Menyelesaikan masalah dengan kekerasan hanya akan menyemaikan kekerasan baru yang tak ada ujungnya. Jalan satu-satunya untuk mengatasi kekerasan bukan dengan kekerasan lain, tetapi dengan tukar pikiran, kritik dan kritik-balik, dialog, percakapan kritis, dst. Itulah jalan demokrasi, itulah jalan pluralisme !.

Perbedaan mendasar antara seorang Muslim pluralis dengan non-pruralis adalah dalam hal berikut ini. Seorang Muslim pluralis bisa saja mengkritik pandangan individu dan kelompok lain. Dia bisa setuju dan tak setuju dengan pihak-pihak yang berbeda, tetapi dia tak akan menghalangi orang itu untuk berpendapat sesuai dengan keyakinan hatinya. Seorang pluralis membedakan dengan tegas antara hak berpendapat yang harus dijamin untuk siapapun, dan hak untuk mengkritik pendapat itu. Mengkritik suatu pendapat tidak sama dengan menghilangkan hak orang lain untuk berpendapat.

Seorang non-pluralis, pada umumnya, cenderung untuk menghilangkan hak orang lain untuk berbeda. Sorang pluralis dan non-pluralis mempunyai kesamaan dalam satu hal: dua-duanya berpendapat dan mengkritik orang lain. Tetapi mereka berpisah-jalan dalam satu hal: jika seorang pluralis berpendapat dan mengkritik seraya menghormati hak pihak lain yang dikritiknya itu, maka seorang non-pluralis berpendapat dan mengkritik seraya hendak memberangus pendapat yang berbeda, terutama pendapat yang ia anggap sesat dan belawanan dengan doktrin yang ia yakini.

Kasus kongkrit yang bisa menjadi contoh yang sangat baik adalah masalah Ahmadiyah beberapa waktu yang lalu. Sebagai seorang pluralis, saya, misalnya, membela hak-hak orang Ahmadiyah untuk melaksanakan keyakinannya, meskipun saya tak sepakat dalam beberapa hal dengan keyakinan mereka itu. Kelompok non-pluralis seperti MUI tidak saja berbeda pendapat dengan Ahmadiyah, tetapi hendak menghilangkan hak orang Ahmadiyah untuk ada dan melaksanakan keyakinannya. Argumen yang selalu diulang-ulang oleh kalangan konservatif seperti MUI adalah bahwa masalah Ahmadiyah bukan lagi menyangkut kebebasan beragama, tetapi penghinaan dan penodaan agama. Argumen semacam ini jelas tak berdasar.

Jika keyakinan kelompok Ahmadiyah dianggap sebagai penodaan atas Islam, kenapa MUI tidak sekalian menganggap keyakinan umat Kristen sebagai penodaan pula ? Bukankah dalam Quran dengan tegas dinyatakan bahwa orang-orang yang meyakini doktrin trinitas adalah "kafir" (QS 5:73) ???, Kenapa doktrin trinitas tidak dilarang sekalian oleh pemerintah melalui SKB pula ???, Bukankah menganggap adanya tiga Tuhan bisa dianggap sebagai penodaan dalam perspektif teologi Islam ???

Jawaban yang akan dikemukakan oleh kalangan konservatif sudah bisa diduga: Kristen adalah agama lain di luar Islam, jadi mereka berhak memiliki doktrin dan keyakinan apapun, dan umat Islam tidak berhak mencampuri doktrin mereka. Sementara Ahmadiyah adalah berada dalam tubuh umat Islam sendiri, sehingga mereka harus “ditertibkan”.

Jawaban semacam ini mengandaikan seolah-olah bahwa penodaan agama diperbolehkan jika berasal dari agama lain, bukan dari agama yang sama. Secara kategoris, keyakinan golongan Ahmadiyah tentang adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad jauh lebih ringan tinimbang keyakinan tentang trinitas.

Jika keyakinan pertama dianggap sebagai penodaan atas doktrin Islam, dan karena itu harus dilarang untuk disebarkan di masyarakat seperti kita baca dalam SKB itu, maka keyakinan kedua (yakni trinitas) dengan sendirinya juga harus dianggap penodaan pula, dan harus dilarang untuk disebarkan di masyarakat. Jika sesuatu dianggap noda, ia tetap merupakan noda, tak peduli dari manapun sumbernya.

Dengan mengatakan ini, saya tidak berarti ingin menganjurkan agar Kristen dilarang di Indonesia, tetapi saya hanya mau menguji konsistensi argumen yang dikemukakan oleh MUI dan pendukung-pendukungnya.

Masalah Ahmadiyah jelas menyangkut kebebasan agama. Kebebasan beragama bukan saja sebatas “kebebasan eksternal“, yaitu orang-orang bebas memeluk agama-agama yang berbeda, tetapi juga “kebebasan internal“. Apa yang saya sebut sebagai kebebasan internal adalah seseorang bebas memeluk dan mengikuti aliran, mazhab dan kecenderungan pemikiran yang berbeda-beda yang ada dalam agama yang sama. Selain seseorang bebas untuk memeluk Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan ribuan keyakinan lokal yang bertebaran di seluruh bumi Indonesia, yang bersangkutan juga bebas memeluk aliran-aliran dan mazhab yang bermacam-macam dalam agama itu. Seorang yang memeluk Islam, dengan demikian, bebas pula memeluk aliran Sunni atau Syiah. Jika ia memeluk Sunni, ia juga bebas memeluk mazhab apapun dalam aliran Sunni, yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Seorang yang memeluk mazhab-mazhab itu pun bebas pula mengitui pendekatan teoritik dan penafsiran tertentu dalam mazhab yang sama. Demikian seterusnya.

Begitu pula seseorang yang memeluk agama Kristen: ia bebas mengikuti denominasi apapun yang ada dalam agama itu, termasuk denominasi yang oleh kelompok lain dalam Kristen dianggap menyimpang dan sesat. Hal yang sama berlaku untuk agama-agama lain. Dalam setiap agama, selalu saja ada kelompok yang dianggap sesat. Itu kecenderungan yang berlaku umum di mana-mana.

Dengan demikian, keragaman bukan saja terjadi antar agama, tetapi juga intra-agama. Meskipun agama Protestan memang hanya ada satu, tetapi di sana terdapat berbagai macam sekte dan denominasi. Begitu pula hal yang sama terjadi dalam Islam. Memang Islam adalah agama yang satu, tetapi harus diakui dengan jujur di dalamnya terdapat banyak ragam aliran, mazhab, dan perspektif pemikiran. Oleh karena itu, kebebasan beragama berlaku baik antar-agama atau intra-agama.

Tugas negara bukanlah mencampuri perbedaan itu dan ikut menyeleksi mana keyakinan yang dianggap benar dan mana yang sesat. Campur tangan semacam ini, per definisi, sudah berlawanan dengan watak negara Indonesia sebagai negara demokrasi yang diikat oleh konstitusi yang menjamin hak-hak sipil, termasuk kebebasan keyakinan dan beragama. Jika negara melarang kelompok Ahmadiyah karena ia memiliki keyakinan yang dianggap menodai ajaran Islam, bagaimana pula dengan keyakinan warga NU, misalnya, yang meyakini bahwa ziarah kubur adalah sesuatu yang dianjurkan oleh Islam. Padahal keyakinan ini di mata kelompok lain dianggap sebagai syirik atau menyekutukan Tuhan — dosa terbesar dalam Islam yang tak bisa diampuni (QS 4:48). Apakah dengan demikian NU harus dilarang di Indonesia? Untung saja NU adalah ormas besar. Andaikan saja NU menjadi kelompok kecil di tengah lautan umat Islam lain yang kebetulan menganggap bahwa ziarah kubur adalah syirik, bukan mustahil ormas ini akan mengalami nasib serupa seperti Ahmadiyah.

Jika hal diteruskan, maka akan terjadi siklus pelarangan dan penyesatan yang tak ada hentinya. Akan terjadi pertengkaran dalam tubuh agama yang sama karena perbedaan doktrin dan penafsiran. Jika suatu kelompok dianggap sesat, biasanya akan diikuti dengan penghilangan hak dan penyingkiran kelompok itu. Sejarah Kristen Eropa menjelang abad reformasi di abad 16 sudah mengalami “pengalaman gelap” semacam ini. Mestinya umat Islam belajar dari sejarah persekusi agama yang berdarah-darah seperti di Eropa di masa lampau.

Jalan terbaik untuk mengatasi perbedaan ini tiada lain adalah mengubah cara pandang umat beragama. Yaitu dari cara pandang yang eksklusif menjadi pluralis. Cara pandang pluralis tidak berarti bahwa anda harus sepakat dengan keyakinan dan mazhab pihak lain. Anda tetap bisa saja berkeyakinan bahwa kelompok tertentu sesat dalam perspektif doktrin yang anda anut; tetapi anda tetap menghargai hak kelompok yang anda anggap sesat itu untuk ada. Anda juga bisa melancarkan kritik atas doktrin kelompok tersebut, tetapi kritik anda tidak disertai dengan anjuran untuk menyingkirkan dan, apalagi, memberangus kelompok itu.

Ini adalah cara pandang seorang pluralis. Dengan kata lain, pluralisme sama sekali tidak menghentikan kritik dan diskusi. Jika saya mengkritik pendapat pihak lain, misalnya FPI, HTI, JI, Al-Qaeda dan semacamnya termasuk MUI, maka itu tidak berarti saya menghalangi pihak tersebut untuk ada dan menyampaikan pendapat yang berbeda.

Pandangan semacam ini, di mata saya, adalah yang paling masuk akal di tengah-tengah masyarakat yang beragam keyakinan, aliran dan mazhabnya. Mustahil kita memaksakan keseragaman pendapat dan keyakinan, baik antar atau intra-agama. Memaksakan keseragaman hanya akan berakhir pada persekusi dan pemberangunan keyakinan.

Pengalaman negeri-negeri totaliter dan otoriter di manapun sudah mengajarkan bahwa keseragaman yang dipaksakan, entah melalui kekuasaan politik, agama atau dua-duanya, hanya akan berakhir pada keruntuhan sistem itu sendiri. Setiap orang dan kelompok menginginkan kebebasan dan penghormatan atas keyakinan dan kepercayaan yang mereka peluk.

Sebagaimana air yang terus akan mencari celah untuk terus mengalir, walaupun dihambat atau terhambat oleh halangan-halangan tertentu, begitu pula manusia: ia tak bisa dihambat untuk mencapai suatu kondisi yang ia cita-citakan, yakni kondisi kebebasan. Dengan segala daya-upaya, ia akan mencoba mengatasi segala bentuk halangan yang membatasi kebebasan itu. Dan sejarah manusia sejak dahulu kala adalah sejarah mencari KEBEBASAN!."

-

So, piala bergilir pluralisme kali ini jatuh ke tangan rekan yg menuliskan essay di atas, selamat yah.

Memang seperti itulah pengertian pluralisme yg terakhir dan sempurna, dan bukan seperti sering disalah-kaprahkan oleh mereka yg masih terbelenggu budaya malu-malu kucing, maybe karena prakteknya sendiri tidak mau dikritik. Padahal kritik apapun is valid, sah saja. Bahkan sah untuk bilang kelakuan SEBAGIAN kalangan Islam itu sangat primitif. Corong mesjid di pemukiman padat di tengah kota Jakarta telah menyebabkan entah berapa ratus ribu (atau juta) penduduk Jakarta terkena budeg, misalnya. Mustinya para mesjid itu dikumpulkan dan dituntut beramai-ramai dengan tuduhan pembudegan massal, hm..


+

Leo
@ Komunitas Spiritual Indonesia .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar