Selasa, 06 April 2010

Anda Mau Surah Anda Saya Jadikan Ayat ?

T = Dear Leo,

Beberapa waktu yang lalu, saya baca status Leo yang membahas tentang guru spiritual. Dan saya mau cerita aja mengenai beberapa pengalaman teman-teman saya yang juga mempunyai atau pernah mempunyai “Guru Spiritual”. Umumnya yang disebut dengan Guru Spiritual adalah ahli/guru agama; ustad, ustazah, pendeta, pastor, dll yang keahliannya memang membedah urusan agama dan tafsir kitab suci dan pada akhirnya didaulat untuk berbagi pengetahuan tentang agama, syariat, maunya Tuhan dll oleh orang-orang yang merasa bahwa pengetahuannya belum cukup.

J = Itu pengertian umum. Orang berpikir bahwa spiritualitas selalu berputar di sekitar agama, pedahal tidak. Malahan seringkali agama keluar jauh dari spiritualitas. Kalau sudah tentang mengajarkan "apa maunya Tuhan" (dalam tanda kutip), maka berarti sudah keluar jauh dari spiritualitas. Sudah jelas apa yg diajarkan itu bohong.

Dari mana si guru agama tahu maunya Tuhan? Dari kitab suci? Apakah kitab suci itu dari Tuhan? Of course not. Yg bilang kitab suci itu dari Tuhan adalah orang-orang itu. Sang nabi mengaku memperoleh ayat dari Tuhan melalui Jibril, pedahal ayat-ayat itu asalnya dari otak si nabi saja. Tidak ada bedanya dengan ayat-ayat yg anda keluarkan di dalam surat kepada saya. Surah means surat. Dan kalau surat itu sudah dikasih nomor, maka namanya ayat. Dikasih nomor agar bisa mudah dicari. Anda mau surah anda saya jadikan ayat?

T = Karena akhir-akhir ini yang namanya kata “spiritual” tuh membahana banget, akhirnya banyak di antara mereka juga berganti sebutan; dari guru agama menjadi guru spiritual. Banyak di antara para guru itu diangap mampu “memenuhi” apa yang dicari oleh orang-orang yang masuk ke dalam perkumpulan mereka; entah karena nasihatnya tok cer, entah karena mampu memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Guru ini juga dianggap punya pengetahuan “spiritual” yang lebih (al: jalur ke Tuhan yang lebih lurus dan cepat, lebih tahu memahami & mengimplementasikan ayat-ayat kitab suci, dll ), tak heran makanya orang-orang yang mencari ini akhirnya termehek-mehek jatuh cinta dan kagum luar biasa pada sang Guru.

J = Biasalah. Manusia spiritual kelas bawah memang seperti itu. Mereka jatuh cintrong kepada sang guru yg lalu dipuja-puji setinggi langit. Pedahal semuanya manusia biasa saja. Orang yg dinabikan juga manusia biasa saja. Bahkan Yesus, Daud, Musa dan para nabi Yahudi itu orang biasa saja. No different than you and me. Mereka juga makan, minum dan bernapas. Kalau tidak bernapas lima menit mereka bakal koit. Namanya dead because kehabisan oksigen. Tanpa berdoa jungkang jungking mereka bisa hidup, tapi tanpa bernapas lima menit mereka bakal dead. Fyi, kalau benar para nabi Yahudi itu ada, so pasti doanya juga jungkang jungking. Sampai sekarang orang Yahudi orthodox yg berdoa di hadapan tembok ratapan di Yerusalem juga seperti itu gayanya. Badannya doyong ke depan dan ke belakang sambil baca doa. Very funny. Tapi ini agama lho, dan bukan spiritualitas, sebab spiritualitas yg asli tidak mensyaratkan postur tubuh. Mau tubuh dibungkus rapet kayak lemper atawa cuma pake underwear doang will not be a problem. Tuhan bukan tukang ngintip, walaupun manusia Timur Tengah masa lalu juga punya kepercayaan aneh yg bilang bahwa ada malaikat yg suka ngintip para wanita makanya rambut wanita harus ditutup. Kepercayaan rakyat belaka. Folklore. Dan folklore itu lalu dilestarikan oleh kaum Nasrani sampai ke Eropa sehingga berjilbablah para wanita Kristen mukminah. Yg rambutnya tergerai artinya jablay, begitu kata mereka. Mereka di sini adalah para ulama Kristen yg waktu itu masih mengaku "guru agama". Bukan mengaku "guru spiritual" seperti lagi mode saat ini di Indonesia.

T = Kalau udah pada tahap ini, rasanya apapun permintaan si Guru, pasti akan dengan senang hati dilakukan …. Termasuk sampai permintaan yang enggak masuk akal sama sekali. Baca aja di koran, banyak kan korban pelecehan dan penipuan yang dilakukan oleh “guru spiritual”. Padahal kalau kita lihat (Leo lebih ahli dehhh ... ) orang yang mencari sesuatu di luar dirinya entah namanya spiritualitas atau apapun juga, biasanya orang yang tengah dililit masalah atau orang yang merasa “kosong” dalamnya, dan nggak tau gimana mengatasinya. Pada kondisi yang seperti ini, mereka responsif sekali terhadap apapun atau siapapun yang dianggap mampu menyembuhkan dan menyelesaikan masalah mereka. Dan kalau mereka “merasa” disembuhkan atau tercerahkan, pasti mereka langsung ngintil dan tak terpisahkan dari Gurunya aka penyembuhnya. Singkatnya mereka menciptakan “comfort zone & attachment” dengan si Guru. Nah, menurut saya hubungan yang seperti inilah yang enggak sehat, karena sudah masuk ke kultus individu dan kita akan gampang sekali diperdayakan.

J = Exactly. Banyak yg mengaku guru spiritual itu seperti paranormal kelakuannya, mereka memperdaya manusia untuk semakin beriman kepada dirinya. Paranormal itu bekerja berdasarkan kultus individu juga. Semakin pamornya gede, maka semakin gede juga fee-nya. Guru spiritual yg bekerja mengikuti model paranormal akan seperti itu modus operandinya. Mereka akan menyebarkan image seolah-olah mereka orang luar biasa, pedahal biasa-biasa saja. Bahkan Osho dan Krishnamurti yg di-dewakan banyak orang itu tetap manusia biasa saja. Krishnamurti tidak mau di-dewakan, tidak mau mempunyai murid. Tetapi Osho secara aktif maupun pasif melestarikan kultus individu terhadapnya. Orang yg seperti itu jelas manusia spiritual palsu. Spiritual juga, tetapi palsu. Sama saja seperti guru agama yg mengidolakan sang nabi. Agama sih agama, tetapi agama yg palsu. Kenapa palsu? Karena sang nabi itu sendiri, kalau benar nabi asli, pastilah tidak akan mendorong para pengikutnya untuk mendewakan dirinya. Sang manusia pastilah tidak akan minta di-nabikan. Manusia yg minta di-nabikan, atau yg minta diakui sebagai seorang guru spiritual sudah jelas penipu belaka. Motivasinya jelas uang.

T = Beberapa teman saya juga mengalami sampai ke tahap ini, memuja-muji gurunya dan bergantung sepenuhnya, hingga tidak ada satupun keputusan – bahkan yang paling sederhanapun –yang tidak dikonsultasikan. Buat saya pribadi, ini sih sama aja dengan pembodohan. Kalau kita sampai bertekuk lutut seperti itu – istilah kerennya Give our power away - apa bedanya Guru Spiritual dengan nabi, agama dan Tuhan ? Apalagi jika sang guru menuntut kesetiaan mutlak dari para muridnya. Wahhh ... ini sih sama aja masuk ke dalam jebakan Batman hehehe. Kalau kita tidak bisa mengembangkan akal sehat, proses berpikir, akhirnya kita akan seperti kerbau dicocok hidungnya ... ikuuuuut aja apa kata gurunya, Enggak punya pikiran sendiri dan nggak bisa ambil keputusan sendiri, kapan kita maju, pintar dan berkembang ? Kalau kita tidak bisa belajar menjadi manusia yang utuh sejati, dimana letak “keguruan“ nya ? Dan yang paling penting, dimana letak pembelajaran spiritualnya ?

J = Pembelajaran spiritualnya adalah ketika mereka sadar sesadar-sadarnya bahwa mereka telah terbawa emosi mendewakan sang guru. Pedahal itu manusia biasa saja yg tidak ada bedanya dengan anda dan saya. Walaupun sang guru berbicara demi Allah, atau demi Buddha, atau demi Yesus ataupun Hantu Blao, it won't matter. Cepat atau lambat manusia akan sadar juga bahwa the real guru is within. Guru sejati itu adanya di dalam kesadaran kita sendiri saja. Bukan di sosok manusia lain secara fisik. And that's also the reason mengapa saya tidak mau dianggap sebagai guru. Saya bukan guru. Saya cuma sparing partner untuk ngobrol-ngobrol spiritual ngalor ngidul. Saya belajar banyak sekali dari conversations seperti ini dengan ratusan orang di seluruh dunia. Manusia Indonesia itu ternyata banyak yg pintar. Banyak yg masih goblok, tetapi lebih banyak lagi yg sudah pintar. We are smart people. Keturunan jenius dari Lemuria, hm..

T = Saya seneng tuh, sama pendapat Leo bahwa inti spiritualitas adalah sadar diri. Here and Now. Kalau “cuma” ini konsepnya, lantas dimengerti dan dipahami, harusnya orang nggak perlu lari ke apa-apa yang ada di luar dirinya untuk belajar. Orang enggak perlu ke guru spiritual, ngikutin sampai hilang akalnya, karena yang kita perlukan adalah “eling”, serta memahami bahwa semua yang terjadi adalah proses belajar yang dibutuhkan, atau konsekwensi yang harus dijalani. Makanya, saya suka sebel tuh kalau ada orang yang sedikit-sedikit bilang “terserah yang di atas ...” , atau “tanya dulu ya sama guru spiritual saya ......” Lha wong semua ini hidup kita sendiri dan kita yang pilih kok, kita sendiri yang ngerasain enak dan susahnya. Kenapa jadi seolah-olah harus bergantung pada kekuatan lain untuk membuat pilihan ?

J = Biarin aja urusan orang. Namanya proses. Mula-mula goblok, lama-lama jadi setengah goblok. Terus melakukan lompatan spiritual menjadi setengah pinter. Kalo udah kejedut habis-habisan barulah the manusia akan melepaskan segala-galanya dan menjadi manusia spiritual yg dewasa. Tanpa ada jatuh bangun mustahil ada pendewasaan spiritual. Bahkan agama-agama yg sekarang sudah menjadi lebih manusiawi telah melewati jatuh bangun habis-habisan. Mereka telah melakukan up-grade terhadap konsep Tuhan. Telah merevisi syariat yg mereka jalani, walaupun masih tetap dibilang "berasal dari Tuhan". Pedahal buatan manusia biasa saja, in this case para ulama.

T = Saya sendiri cenderung berpikir bahwa “guru spiritual” yang terbaik adalah hidup kita sendiri. Karena kita belajar dari sumber terpercaya yang sesuai dengan norma, value, latar belakang yang memang milik kita. Kita ketemu langsung dengan “spiritualitas” yang pasti cocok buat kita, karena itu kan hidup yang memang punya kita .. Mengenali diri sendiri, jelek baiknya, memahami dan “accept” semua yang kita miliki, mencintai dan belajar untuk mempercayai diri sendiri adalah inti spiritual yang sebetulnya tidak memerlukan sosok guru yang lain lagi selain hidup kita sendiri. Menurut saya itulah letak kekuatan spiritualitas kita. Acknowledge our power and take it back. Dengan begitu kita meminimalkan resiko untuk dibodohi orang lain, dimanfaatkan oleh orang lain dan kita enggak perlu lapor polisi .......

J = Iyalah, ngapain lapor polisi? Kalo suka sama suka ngapain lapor polisi? Pada pihak lain saya juga sudah mulai berhati-hati sekarang. Walaupun saya juga suka dipijat di bagian sensitif, saya tidak akan memintanya. Saya akan tunggu sampai orangnya sendiri yg meminta. I shall let him or her beg to massage my vital part. Kalau dia yg meminta, maka namanya bukan pelecehan seksual. Kalau saya yg meminta, apalagi dengan status saya sebagai seorang "guru", maka namanya penyalah-gunaan jabatan. Jabatan guru bukan untuk minta di-massage anune. Bukan untuk dipuja-puji. Bukan untuk dimuliakan. Guru is just a teacher for one thing. Guru itu banyak. Ada guru nyetir mobil. Ada guru bahasa Inggris. Ada guru memasak. Ada guru make up. Ada guru tari. Semuanya guru, dan semuanya manusia biasa saja. Tidak perlu dilayani, apalagi secara seksual. We do it sexually only with person(s) with whom we really like to do it. Tanpa paiksaan. Tanpa intimidasi. Tanpa perlu bawa-bawa status sebagai guru meditasi, guru spirutual atau guru apapun namanya. Apa bedanya guru spiritual dengan guru masak? Sama-sama guru bukan?


Leo
@ Komunitas Spiritual Indonesia .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar