Selasa, 06 April 2010

Saya Bukan Perempuan Baik Seperti Dulu Lagi

Friends,

Spiritualitas erat sekali hubungannya dengan seksualitas, bahkan simbolnya pun sama. Kalau celah yg bernama 'seksualitas' sedang terbongkar, maka anda bisa yakin bahwa 'spiritualitas' juga. Kalau anda mau naik kelas, just make a decision to go with it. Kalau mau tinggal kelas cukup diam saja. Kalau mau drop out tinggal berteriak sejadi-jadinya sampai anda sadar sendiri bahwa ternyata anda sudah ditinggalkan oleh semua orang.

Kalau anda melihat gonjang-ganjing terbongkarnya skandal seks dimana-mana, artinya itulah saat yg tepat untuk membuat keputusan spiritual. Ada hubungannya juga dengan konstelasi bintang-bintang di atas langit.

Alam semesta atau makrokosmos bekerja melalui gaya tarik-menarik magnetik antara berbagai unsur di angkasa luar dan dampaknya berupa perubahan berbagai hormon di tubuh manusia. Tanpa perlu perhitungan astronomi atau astrologi, kita bisa tahu kapan ada 'celah' yg pas untuk meningkatkan kesadaran spiritual, yaitu ketika muncul gonjang-ganjing skandal sex. Ini saat yg tepat bagi anda yg terlalu maskulin untuk menginkorporasikan sisi feminin anda yg selama ini tertekan terlalu hebat. Dan begitu pula sebaliknya bagi mereka yg selama ini berpura-pura tidak memiliki sisi maskulin.

Yg namanya 'peningkatan spiritual' tak lain dan tak bukan cuma penyeimbangan saja. Penyelarasan berbagai konstelasi di dalam diri kita sendiri, dan sebenarnya tidak ada hubungannay dengan guru ini atau guru itu. Tidak pula ada hubungannya dengan agama dan aliran spiritual tertentu. Cukup kita sendiri yg menyelaraskan berbagai elemen kita yg selama ini kurang seimbang. Ketika kita menjadi lebih selaras, berarti kita telah mengalami 'peningkatan spiritual'. Very easy, isn't it?

Saya tidak berbicara tentang gairah sex melainkan tentang penyeimbangan kejiwaan manusia. Ada yg kita kenal sebagai sifat maskulin, dan ada yg kita kenal sebagai sifat feminin. Keduanya ada di dalam kejiwaan kita. Nah, kita ini dididik untuk setir kiri atau setir kanan. Untuk maskulin saja atau feminin saja. Akhirnya kita menjadi terlalu maskulin atau terlalu feminin. Kita menjadi terlalu kaku. Semua aspek kehidupan manusia seperti itu polanya. Terlalu 'maskulin' atau terlalu 'feminin'.

Tetapi alam memiliki mekanisme untuk menggerakkan segalanya sehingga naik ke tingkat lebih tinggi. Cara bergeraknya adalah dengan menggoyang kestabilan yg sudah ada selama ini. Dengan menggoyang kestabilan pekerjaan kita, kestabilan agama kita, kestabilan spiritualitas kita, dst... sehingga yg tadinya terlalu kaku akan hancur. Kita akan memunguti yg hancur berkeping-keping itu. Apa yg bisa dipakai akan dipakai lagi, dan apa yg hancur lebur terpaksa dibuang, dan kita 'terpaksa' mengambil dari apa yg bisa diambil dari lawannya. Kalau selama ini terlalu maskulin, maka akhirnya terpaksa mengambil dari yg feminin juga karena ada bagian maskulin yg sudah hancur dan tidak bisa diperbaiki. Kalau selama ini terlalu feminin, maka terpaksa ambil yg maskulin karena ada bagian feminin yg rusak dan terpaksa dibuang. Seperti itu jalan alam semesta.

Tetapi jangan harap ini akan berjalan mulus karena manusia jelas akan protes kepada 'Tuhan'.

Agama akan berontak dan mencari 'kambing hitam'.

Semua organisasi akan mencari 'oknum'.

Pedahal tidak ada yg perlu dicari-cari kesalahannya karena apa yg sudah terjadi memang seharusnya untuk terjadi. Ada yg harus dibuang, dan kalau kita tidak mau membuangnya dengan sukarela, maka alam akan menariknya dari kita dan menghancurkan hal itu. Peningkatan spiritualitas terjadi ketika kita ikhlas dan pasrah menerima apa yg tercabik keluar dari kejiwaan kita / agama kita / organisasi kita / dst... dan dengan penuh kesadaran mengambil alih apa yg tadinya kita anggap 'lawan' untuk akhirnya menjadi bagian dari diri kita yg baru. Inilah yg namanya penyeimbangan, balancing, di titik lebih tinggi. Dan bisa berjalan secara alamiah tanpa perlu guru spiritual ini dan itu. Tanpa perlu bhakti ini dan itu. Walaupun tentu saja tidak semua orang menyadari bahwa dirinya sedang melalui proses peningkatan spriritual yg istilahnya juga bisa bermacam-macam.

Tentu saja yg saya maksud dengan maskulin dan feminin itu adalah thesis dan antithesis kalau mengikuti istilah dari Hegel, seorang filsuf Barat. Thesis bisa berarti apapun. Bisa berarti 'theis, dan antithesis dari theis adalah 'atheis'. Orang theis yg tidak menginkorporasikan atheisme di dalam dirinya akan timpang. Bisa berarti kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme yg murni merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan juga. Kapitalisme baru menjadi manusiawi setelah menginkorporasikan sosialisme ke dalam di dirinya sendiri. So, apa yg kita kenal sebagai 'kapitalisme Barat' saat ini sebenarnya sudah merupakan anak haram jadah dari kapitalisme vulgar dan pemikiran sosialis.

AS, Eropa Barat dan Australia, contohnya, sudah jauh lebih sosialis dibandingkan dengan Indonesia. Kita di Indonesia ini masih mempraktekkan kapitalisme yg kasar. Termasuk kapitalisme negara. Akibatnya asspek sosialis atau kesejahteraan dari kehidupan masyarakat sangatlah terbengkalai. Anak-anak jalanan tidak ada yg urus. Orang gila berkeliaran di jalan-jalan. Perusahaan milik negara menjadi sapi perah manajer mereka sendiri.

Komunisme di Cina juga sudah bukan komunis yg garang itu lagi. Cina sudah menjadi kapitalis. Dan sebagai negara kapitalis, Cina yg Komunis itu bahkan sudah jauh melampaui Indonesia dalam hitungan GNP per kapita. Pedahal Cina tidak perduli dengan agama, negara Cina tidak memakai agama yg dianggap sebagai sumber pembodohan massal. Indonesia yg masih memakai agama justru terpuruk sampai sekarang. Tanpa perlu mencari 'kambing hitam', kita sudah tahu siapa the kambing hitam yg, menurut pengamatan dari jarak dekat, ternyata juga gemar mengorbankan kambing-kambing lainnya, especially ketika hari raya Idul Qurban.

Indonesia ini serba tanggung, dan kemungkinan besar karena tidak berani tegas bilang 'tidak' terhadap rongrongan dari kaum beragama. AS dan negara-negara Barat telah mengambil sikap tegas terhadap organisasi keagamaan sejak dahulu kala. Cina telah mengambil sikap tegas. Indonesia belum, dan mungkin akan mengambil sikap tegas pula dalam waktu dekat ini. Cepat atau lambat itu harus. Harus ada antithesis dari 'Ketuhanan yang Maha Esa', dan antithesis itu adalah sikap pragmatis terhadap tuntutan kaum agama. Bisa dibilang sebagai sikap 'sekuler'. Keagamaan itu antithesisnya adalah sekulerisme. Keduanya bisa ada sekaligus asalkan dibuat batas-batas yg tegas sehingga tidak saling menggerogoti seperti kanker. Indonesia tergerogoti oleh 'kanke' yg disebabkan ketidak-tegasan batas antara keagamaan dan sekulerisme.

Apapun jenis sintesis yg dipilih, yg jelas agama harus masuk kandang. Semua negara-negara yg sekarang kita kenal sebagai masyarakat maju telah memberikan contoh itu. Tanpa agama dimasukkan ke dalam kandang yg terakhir dan sempurna, negara akan tetap terbelakang.

Itu dalam level kenegaraan, dan prinsip seperti di atas bisa diterapkan di semua level. Level pribadi, level pertemanan, level perusahaan, level organisasi, level asosiasi,... sampai ke level hubungan internasional. Ini proses alamiah dari dulu sampai sekarang. Universal. Dan itulah ajaran spiritual yg sebenarnya tanpa tedeng aling-aling, tanpa dibungkus oleh takhayul, tanpa menggunakan simbol-simbol usang.

Dan berikut percakapan hari ini:


+

SAYA BUKAN PEREMPUAN BAIK SEPERTI DULU LAGI


T = Mas Leo, thank you atas notenya ... I love you muuuuaaah deeeh ... :D

J = Mwah MWAH... (especially enak dilakukan terhadap istri orang). Mwah mwah... (again)

T = Sekali lagi ma kasih dah jawab pertanyaan-pertanyaan saya yg agak-agak bodoh itu ya ... maaf juga kalau bahasa saya kacau ... dan Mas Leo bisa mengedit bahasa saya menjadi bahasa yg lebih enak...

J = Terima kasih kembali (sambil tersipu-sipu malu gaya penjahat pemetik bunga).

T = Duh senangnya ada fesbuk jadi pikiran liar saya dapat penyaluran ...

J = Pikiran liar saya juga dapat penyaluran. Bukan pikiran saja melainkan juga perbuatan. Pikiran harus disalurkan melalui perbuatan walaupun yg jenis terakhir harus disensor demi kemaslahatan bersama.

T = Hooree sekarang saya bukan perempuan baik seperti dulu lagi, duh kalau ga ada fesbuk n ga ketemu Mas Leo Cs., bisa-bisa pertanyaan-pertanyaan yg ada di pikiran saya akan membatu n saya bawa sampai mati.

J = Pikiran saya juga akan bisa membatu dan akan saya bawa sampe mati ke dalam Surga. Di Surga pikiran saya yg membantu akan dirampas oleh Malaikat Jibril yg, kita semua tahu, akan menurunkan kembali pikiran itu ke atas bumi dalam bentuk ayat-ayat. Itu memang pekerjaan Jibril dari dulu sampe sekarang: membawa turun pikiran dari dalam Surga ke atas bumi. Sampai di bumi, the pikiran akan disusun menjadi kitab yg diberi judul dan nomor urut. Ayat artinya kalimat-kalimat yg disusun dengan nomor urut. Kalimat biasa saja, walaupun bisa saja menjadi "suci" kalau orangnya mau. Kalau orang mau mensucikan ayat yg dibawa turun oleh Jibril, maka jadilah. Tinggal sebut saja itu 'ayat suci', dan jadilah. As simple as that. Pedahal aslinya cuma pemikiran. Pemikiran seperti yg ada di anda dan di saya.

T = Untuk ukuran lingkungan saya, saya termasuk memiliki pikiran agak tidak lazim Mas, misal: kalau saya mati saya tidak ingin didoakan selama 3 hari, 7 hari, 40 hari sampai 1000 hari. Heran dah jadi mayat koq didoain, kalau mau mendoakan saya ya waktu saya hidup, kalau dah mati ya sama aja boong, ngabis-ngabisin tenaga, waktu dan uang aja ...

J = Saya juga gak mao didoakan setelah saya mati. Pada pihak lain, saya juga tahu bahwa doa adalah komunikasi antara seorang manusia hidup dengan dirinya sendiri. Jadi, orang yg mendoakan orang mati itu sebenarnya cuma berkomunikasi dengan dirinya sendiri saja. Dan, karena saya orangnya sangat baik, akhirnya saya memutuskan 'terserah'. Terserah orang mau mendoakan saya setelah saya mati. It's none of my business. Mereka cuma mendoakan diri mereka sendiri saja bukan? Mereka cuma meyakinkan diri mereka sendiri bahwa orang mati itu 'senang' didoakan. Pedahal orang udah mati gimana mau merasa senang atau tidak senang ya? Yg bisa merasa senang adalah orang hidup. Kalau senangnya mendoakan orang mati, biarkan sajalah. Urusan orangnya sendiri.

T = Saya juga ga mau dikuburkan, tanah kuburan daripada untuk buang bangkai manusia kenapa ga dihibahkan saja untuk rumah orang miskin atau dibuat fasilitas umum, khan lebih berguna dan bermanfaat? Bangkai aja koq dibuatkan istana ...

J = Bangkai dibuatkan istana karena ada orang hidup yg berkelana di jalan-jalan tidak punya tempat berteduh. Ada gelandangan, ada anak terlantar, ada orang gila berkeliaran di jalan-jalan. Ini semua terjadi di Indonesia sampai sekarang, dan mereka inilah yg "membiayai' istana untuk orang-orang mati itu... Well, sebenarnya the istana for orang mati itu juga untuk manusia hidup. Membuat istana untuk orang mati bukan untuk orang mati itu sendiri, tapi untuk orang hidup yg masih memerlukan simbol bahwa manusia tidak mati tetapi tetap hidup. Pedahal kalau manusia benar tidak bisa mati, tanpa dibuatkan istana juga tidak bisa mati. Kesadarannya akan tetap ada. Tetapi, kalau ternyata kesadaran manusia itu habis begitu saja seperti dikatakan oleh orang atheis, maka apapun yg kita lakukan tetap saja tidak pengaruh. Manusia akan mati begitu berhenti bernapas. Dead. Completely.

T = Kalau ada yg membutuhkan mata, jantung atau anggota tubuh saya silahkan ambil, untuk penelitian anak kedokteran juga ga papa, jadi mayat yg bermanfaat gitu looh ... setelah itu saya mau sisa tubuh saya dikremasi n abu saya terserah anak saya mau dibuang kemana, dibuang ke tempat sampah ya ga papa abis dah ga penting siih ...

J = That's very good of you. Seharusnya seperti itulah pemikiran yg logis dan rasional. Tetapi manusia masih membutuhkan simbol-simbol tertentu seperti 'istana orang mati' dan berbagai pernak-perniknya seperti peringatan kematian 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari sampai 1000 hari. Saya sendiri tidak merasa membutuhkan itu semua. Saya tidak merasa perlu didoakan secara maraton ketika saya mati. Emangnya mereka bisa menekan Allah supaya bukain pintu Sorga buat saya?


+

Leo
@ Komunitas Spiritual Indonesia .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar